Tuesday, November 11, 2008

My Dreams

My Dreams (part 1)

Di suatu pagi, kuterbangun. Mendapati diriku tengah berada di suatu tempat yang asing.
Hei, ini bukan tempat tidurku! Di mana aku berada? Aku merasakan kelembutan seprai tempat tidur ini -polos, tanpa motif yang terbuat dari bahan yang amat bagus. Warnanya krem. Kesannya anggun dan mahal.
Aku bergegas turun dari tempat tidurku. Kulihat, sarapan pagi sudah terletak di meja kecil tidak jauh dari tempat tidurku. Kulihat sajian western food tertata dengan rapi. Sandwich berisi ikan tuna, telur omelet, dan secangkir orange juice. Perfect! This is the kind of food that I love.

Kubawa tray makanan itu, dan kulangkahkan kaki menuju teras. Lagi-lagi kulihat koran hari itu sudah tersedia, kubawa serta menuju teras. Apa yang lebih sempurna dari makan pagi outdoor, menikmati cahaya mentari dan membaca koran hari ini?

Tempat ini sepertinya asing. Namun di sisi lain, rasa déjà vu menghinggapi. Ini bukan pertama kalinya aku di sini. Entah, tempat ini begitu familiar bagiku. Semua tertata rapi, serapi yang kuinginkan, serapi yang kuimpikan. Walaupun terkadang rasa malas menghinggapiku untuk beres-beres rumah, tetapi kamar dan rumah seperti inilah yang kuidam-idamkan.
Di teras, tersedia meja makan yang tidak terlalu besar. Berkapasitas dua sampai tiga orang. Terbuat dari bahan logam, berukir bunga. Lagi-lagi terlihat serasi dengan perpaduan alam yang menorehkan kesempurnaan spektrum warnanya di pagi itu. Kolam renang kecil berwarna kebiruan terhampar di belakang sana. Tidak terlalu besar memang, tetapi indah. Airnya memberikan kesejukan tersendiri di hatiku hanya dengan menatapnya. Dan bunga-bungan bermekaran di sampingnya? Oh, tak terkira indahnya. Dan ditambah lagi cuaca tengah sangat indah hari ini. Angin sepoi-sepoi bertiup dengan lembut, mengibaskan sedikit rambutku.
Aku duduk dan menghirup jus-ku. Pelan-pelan, kubuka lembaran pertama surat kabar yang ada di tanganku, sambil tangan yang satunya mengambil sandwich dan menyuapkannya secara pelan ke dalam mulutku.

Tempat ini indah, tidak terlalu asing, ada pengalaman lama yang sepertinya berteriak ingin kembali ke masa kini. Dan itu tengah kualami. Semua keindahan itu sepertinya sempurna. Namun, kenapa aku di tempat ini sendirian? Sepi… Alone... Lonely…
Alam seindah ini, tidak mampu menghibur aku yang tiba-tiba merasa sepi. Teringat, dulu di tengah keramaian yang kurasakan di ibukota Jakarta, aku pun pernah merasakan kesepian yang mendalam. Kenapa rasa itu timbul lagi? Di tengah semua impian tentang rumah-alam-aktivitas yang menyenangkan yang kualami, mengapa masih timbul rasa sepi yang tak terelakkan? Menyeruak kuat dari dasar hatiku dan sekarang dia mendominasi. Sepi. Sendiri. Sunyi.

Pelan-pelan, kuselesaikan sarapanku. Kuangkat kembali tray makananku, kutempatkan kembali di tempat semula, di dalam kamarku.
Aku duduk, mengambil buku yang ada di sisi tempat tidurku. Pembatas buku menunjukkan aku sudah menyelesaikan hampir separuh dari buku itu. Dan buku itu berjudul My Dreams. Mungkin itulah yang membuatku terlempar ke sini. Ke bagian terdalam dari diriku yang meronta-ronta ingin memenuhi kebutuhan imajinasiku. Daya khayalku mengajakku terbang ke satu kondisi yang tidak pernah bakal kujumpai dalam rutinitasku.
My Dreams, memaksaku, merayuku, dan dengan senang hati membawaku ke lapisan-lapisan terdalam relung hatiku yang membuatku mampu bertahan dalam impian. Di saat semua keadaan yang sangat tidak mendukungku untuk bermimpi, buku ini mampu mendobrak rutinitas dan ketakutanku.
Hei! Aku mau bermimpi! Tidak salah, kan, punya mimpi???

Dan seolah semua berubah begitu cepat. Aku terjaga dengan terkejut. Kudapati kembali aku di kamarku. Tetapi bukan seperti yang aku mau, tempat ini adalah tempat nyata di mana aku tidur. Tempat ini, seprai garis-garis ini, kamar sempit ini, adalah kamarku. Dan kulihat pemandangan luar lewat jendelaku. Sempit, becek, dan tidak karuan. Berantakan. Mana keindahan yang kudapati di mimpiku tadi? Mana kesempurnaan yang memesona hatiku dan membuatku teramat terhanyut dalam ketenangan luar biasa? Hilang….Raib entah ke mana.
Dan inilah kenyataan yang harus kuhadapi. Tidak ada teras indah, yang ada pekarangan sempit yang berhadapan dengan rumah tetangga. Jalan rumah ini hanya bisa dilalui sepeda motor. Jangankan hamparan luas tanah yang berkolam renang dengan keindahan tamannya, yang ada hanya genangan air becek bekas hujan semalam.
Kenyataan memang pahit. Tetapi kalau saja aku diizinkan untuk bermimpi, sekali lagiiii sajaaa… Satu hari lagi saja…Aku ingin sungguh menikmati setiap detik di impian itu, sehingga aku bisa tersenyum saat berada di tengah kenyataan pahit yang kualami. Andai itu jadi nyata….

Bersambung…

Singapore, 12 November 2008
-fon-

My Dreams (Part 2)

Pembunuh Impian

Sekian lama, aku hidup dengan pembunuh impian. Dengan orang-orang yang menganggap apa yang aku lakukan adalah mission impossible. Buat mereka yang logis dan realis, seorang pemimpi hanyalah mereka yang kurang kerjaan dan terkadang terkesan gila dan eksentrik. Bila ingin melakukan sesuatu di luar kewajaran, tidak salah juga oleh beberapa orang, aku dianggap orang gila. Namun, kalau Wright bersaudara mampu mewujudkan impian mereka membuat pesawat terbang di udara, rasanya tidak ada yang mustahil. Dan berapa banyak pula orang di zaman mereka yang berpikir mereka gila? Ditambah lagi, di sekeliling mereka, rasanya tidak kurang orang yang juga mencemooh dan entah disengaja atau tidak berusaha membunuh impian mereka dengan kata-kata ataupun perbuatan. Dengan tidak mendukung mereka, mengatakan apa yang mereka lakukan adalah sia-sia belaka, karena manusia bukan burung, mana mungkin bisa terbang?
Impian mereka yang kuat ditambah kerja keras, membawa mereka mencapai hasil penemuan terpenting yang membuat kita dengan mudahnya terbang ke Amerika, Australia, dan ke bagian mana saja dari belahan bumi ini. It’s possible!

Kenyataannya, tinggal di gang sempit, berada di lingkungan keluarga miskin, lahir dari keluarga miskin dan terbelakang, membuatku ‘diharuskan’ menerima bahwa keluarga kami akan selalu merupakan keluarga miskin tanpa ampun, tujuh kali tujuh turunan. Namun, di antara keputusasaan akan judgment itu, di antara kepahitan kenyataan bahwa aku harus berhenti bersekolah pas lulus SMU saja dan tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi, aku masih punya mimpi.
Mimpi-mimpi itu kugenggam erat. Membuatku mampu bertahan di tengah arus kehidupan yang terkadang amat liar, tak terbendung, berusaha menarikku ke dalam lembah kekelaman keputusaaan tanpa akhir.
Terlepas dari takdir, nasib, nenek moyang turun temurun yang mewariskan kemiskinan dan kebodohan, aku mau merdeka! Ini bukan semangat ’45 saja, tetapi sungguh, aku mau!
Aku mau mengakhiri zaman keputusasaan yang membelenggu keluarga kami. Untuk itulah, kubuat buku berjudul My Dreams.
My Dreams berisikan banyak impianku, mulai dari yang sederhana semisal nonton bioskop, membeli CD player dan VCD-DVD Player, sampai jalan-jalan ke luar negeri, ke mana saja, agar aku bisa melongokkan kepalaku dari tempurung yang selama ini menguasai ke-katak-anku. Aku sungguh merasa bagai katak dalam tempurung yang tidak pernah ke mana-mana, tidak pernah merasakan kemapanan, namun aku mau mengejarnya.
Belum lagi dengan siapa atau maksudnya dengan orang seperti apa aku mau menikah, kehidupan semacam apa yang ingin aku nikmati lima sampai sepuluh tahun ke depan nanti, semua kutuliskan. Termasuk kamar seperti apa yang kuinginkan, pemandangan di belakang rumah seperti apa yang aku idamkan. Dan itu semua, terbawa mimpi. Impian membawaku bermimpi! Dan itu indah sekali… Memberikan kekuatan baru, di saat aku terbangun pagi ini, di mana aku harus berjuang lagi dengan meyakinkan pembunuh-pembunuh impianku di rumah ini, bahwa aku masih ingin bermimpi. Satu hari lagi, satu tahun lagi, ah…bahkan seribu tahun lagi, kalau umurku masih panjang…

Buku impianku berisikan tulisan, gambar, tentang apa yang kuinginkan, dan itu semua kutuliskan dengan sepenuh hati. Kubaca dan kudoakan siang dan malam. Di tengah kesibukan membantu warung di rumah, aku menyempatkan diri mengintipnya sebentar, tersenyum membayangkan keindahan impian itu, sebelum masuk lagi ke rutinitas harianku.

“ Rokok sebungkus, neng…” Sapaan itu menghentikan sejenak lamunanku. Dan kuambil rokok langganan Pak Budi, lalu tak lupa mengucapkan terima kasih. Mimpiku terhenti. Setiap ada orang yang datang ke warung, aku harus berhenti sejenak. Pause. Bukan stop. Karena kalau berhenti total, artinya aku juga mulai memikirkan untuk menghentikan roda kehidupanku. Apalah artinya hidup, jika dilalui tanpa impian? Bagiku itu hanyalah hidup seorang zombie, yang badannya saja hidup, namun sudah tiada gairah hidup. Semangat hidup yang menipis, meluap entah ke mana, bahkan berlalu bersama angin membuat orang tidak mampu bertahan melewati banyak cobaan.
Bukannya sok, aku juga bukan orang yang selalu kuat. Namun, aku juga tidak mau menyerah. Menyerah, tanpa impian, buatku sudah berarti kalah. Setidaknya dengan bermimpi, aku masih punya semangat, masih ada yang memotivasiku kembali untuk bangkit, karena aku mau mencapai tujuanku. Sekarang, setahun, dua tahun, lima tahun, mungkin juga sepuluh. Aku tidak peduli berapa lama, asalkan aku, si pemimpi ini, masih bisa melanjutkan hidupku dengan senyum ceria, menyambut kehadiran hari baru sebagai satu kesempatan baru, sebagai satu anak tangga untuk mendekati mimpiku.

Dan datanglah pembunuh impian nomor satu. Tidak lain, ayahku sendiri. Dia dengan tegasnya menyuruh aku makan siang. Aku kan bukan anak kecil, kenapa juga musti sebegitu tegasnya, papah? Dan dia paling tidak suka melihatku melamun. Anak gadis kalau melamun, bisa macam-macam katanya. Dan dia paling takut, kalau aku tidak kawin. Karena akan menjadi bebannya seumur hidupnya. Dia juga paling sering melihat buku impianku dan tidak lupa menertawakanku secara sinis. “ Sudah sampai mana impianmu, neng? Bangunlah! Jangan tidur terus…”

Aku berlalu sambil kecewa. Kejadian ini hampir berulang setiap hari. Seperti film yang di-rewind, begitulah adanya. Bosan. Keadaan yang terburuk adalah tinggal bersama si pembunuh impian yang terus menyerang dengan kata-kata dan tindakan yang mematikan kreatifitas dan daya khayalku. Tetapi, kalau dia pikir dengan begitu dia mampu menghentikanku, dia salah besar! Karena dia berhadapan dengan aku, si putri kandungnya sendiri, yang mewarisi ke-kerashati-annya sekaligus ketegarannya. Kalau harus adu keras hati, aku tidak akan kalah sama papah. Aku berlalu, menatap makan siang yang tersedia di meja makan. Hasil jerih payah masakan ibuku, mamah… Mamah memasakkan sayur asam, tempe, dan ikan asin. Aku makan dengan lahap, karena ada sambal terasi kesukaanku juga. Sambil bermimpi makan western food sebagaimana layaknya yang kulihat jelas dalam mimpiku, aku tersenyum. Sayur asam ini terasa sandwich, tempe bagaikan omelet, dan teh pahit ini serasa orange juice.
Gila? Anggaplah sedikit banyak kegilaan itu mulai menjalari otakku dan meracuniku. Tapi, untuk impian dan masa depan yang lebih baik, aku mau gila. Gila demi mencapai impian yang kuidamkan. Biarkan saja si pembunuh impian itu berceloteh panjang lebar, menghina, meremehkan. Dia akan jadi saksi suatu hari nanti, kalau semua perkataannya itu harus dia telan dan dia harus minta maaf padaku. Tunggu waktuNya, pah!

Berjuang sendirian dengan mimpi-mimpiku, terkadang terasa melelahkan. Namun, dengan senang hati, alam tidur memperkuat diriku kembali. Impian (read:bunga tidur) yang sepertinya sudah jadi nyata, menguatkan aku dengan sebegitu detailnya menggambarkan apa yang kuinginkan, sedetail apa yang kutulis, apa yang kugambarkan dalam buku impianku.

Malam hari, kupegang My Dreams erat-erat. Aku mau bermimpi indah lagi. Bertahan satu hari lagi. God, help me!

Bersambung…

Singapore, 14 November 2008
-fon-
*tengah malam, pukul 12.25

My Dreams Part 3

Second Chance

I can show you the world
Shining, shimmering, splendid
Tell me, princess, now when did
You last let your heart decide?

I can open your eyes
Take you wonder by wonder
Over, sideways and under
On a magic carpet ride

A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we're only dreaming

A whole new world
A dazzling place I never knew
But when I'm way up here
It's crystal clear
that now I'm in a whole new world with you



Diiringi lagu film Aladdin itu, aku duduk di atas sebuah permadani yang membawaku terbang melintasi bagian demi bagian bumi. Kulihat Menara Eiffel di Perancis, Great Wall di China, Taipei 101 di Taipei- Taiwan, juga keindahan nusantara: Bali-Yogya-Medan-Manado, dan terus, dan terus, dan terus…
Pemandangan spektakuler tak terkira membuatku tersenyum. Ini bagian dari mimpiku, keliling dunia, untuk membuka wawasan dan melihat perkembangan negara lain. Sungguh menyenangkan!

Dan tiba-tiba permadaniku parkir dengan mendadak, gubrakkk, aku terjatuh, dan ketika kudapati diriku di lantai, ternyata aku sungguh terjatuh dari tempat tidur sempitku karena aku terlalu seru dalam mimpiku ternyata. Ouch, it hurts!
Bangun dari mimpi indah, tidak selalu menyenangkan, ada bagian dari diriku yang menghentak dan menagih untuk masuk ke alam mimpi kembali, karena apabila kulihat kenyataan yang amat mengecewakan, rasanya aku tidak mau lagi berada di dunia realita ini. Tetapi, satu sisi, aku sadar, aku harus berjuang untuk mewujudkan impian itu jadi nyata. Kalau cuma bermimpi dan bermimpi terus, tanpa tindakan untuk mewujudkannya, aku tahu, impian itu juga tidak akan pernah tercapai. Mungkin statusku hanyalah pemimpi nomor satu, tanpa bisa mewujudkannya.

Sejujurnya, aku tidak pernah sebegitu bersemangat sebelum ini. Namun, ketika aku hampir mati ditabrak bus, itulah yang mengubah aku, menjadikan semangatku berkobar-kobar. Karena aku takut, waktuku habis tanpa sempat mewujudkan apa-apa. Aku takut diriku sendiri menyesali kenyataan ini, karena aku terlanjur menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan beri, tanpa berbuat apa-apa dan kesempatan itu lewat begitu saja. No way!

Setiap orang berhak atas kesempatan kedua dalam hidupnya. Dan itulah yang kualami. Di satu perjalanan bersama mamah untuk belanja ke pasar, setelah aku keluar dari gang rumahku, aku berjalan menuju halte bus terdekat di depan gang kami. Dan kulihat, bus yang akan membawa kami ke pasar sudah datang, dan aku mengejarnya. Mamah tertinggal di belakangku, sambil berusaha berlari, namun sepertinya dia sudah terengah-engah. Maksudku, agar aku sampai terlebih dahulu ke bus tersebut biar kuberitahu sopirnya untuk menunggu sebentar. Kasihan mamah kalau sampai ngos-ngosan begitu. Namun, tidak kusangka, setelah aku berlari cepat keluar dari gang menuju jalan raya di depan halte tersebut, maksudku untuk memotong jalan, ternyata di belakang bus yang kami tuju, sudah antri bus lain yang mau menurunkan penumpang. Dan tidak tanggung-tanggung, bus itu ngebut luar biasa, dan berhenti tepat di belakangku. Aku shock, karena sedikitnya bahuku tercium bagian depan bus itu. Dan sopir bus itu memarahiku, “ Mata ditaruh di mana, neng? Nanti kalau mati, abang juga yang kena!”
Aku masih kaget. Terdiam. Mamah di belakang memanggilku, “ Neng, kamu baik-baik saja?”
“ Iya, mah…” Ucapku pelan, sambil berusaha menenangkan debaran jantungku. Yah, aku hampir mati. Dan mati dalam usia 20-an begini, agak menyedihkan dalam pandangan mataku. Tentu saja, umur adalah di tangan Tuhan, aku tidak hendak melawan hal itu. Namun dalam usia 20 tahun, aku masih ingin banyak mewujudkan impian dalam hidupku. Dan kalau aku mati, bagaimana mungkin itu bisa terwujud?

Sejak hari itu, aku berubah. Aku dulu termasuk orang-orang yang kusebut zombie, tanpa gairah hidup, tanpa impian, tak pernah pikir panjang untuk masa depan. Aku terlanjur terlena untuk menerima hidup terlalu apa adanya dan cenderung malas. Ibarat kalau memang Tuhan mau kasih makan, biar Tuhan antar nasi itu ke hadapanku. Tetapi, kini aku tahu, di waktu singkat kehidupan ini, aku mau berbuat sesuatu. Jangan sampai hidupku berlalu tanpa usaha dari diriku.
Aku merasa bersyukur juga bahwa Tuhan memberikan second chance kepadaku. Dia bisa saja ambil nyawaku ketika itu, kalau memang waktuNya tiba. Tetapi tidak dilakukannya. Bagiku, itu merupakan shock therapy sekaligus titik balik untuk kembali bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam hidupku.

Setiap orang berhak atas kesempatan kedua dalam hidupnya. Second chance itu hadir dalam hidupku, dan aku mau mempergunakannya semaksimal mungkin.

Kugenggam erat buku impianku. Ini buah second chance yang kurasakan. Perwujudan syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas karuniaNya, sekaligus juga membuatku berani keluar dari zona kemalasan yang selama ini menaungiku. Aku mau lakukan sesuatu. Sesuatu yang besar akan terjadi. Dan ditambah dengan orang-orang yang skeptis dengan impianku, pembunuh impian seperti papahku dan beberapa orang lainnya, membuatku sungguh termotivasi untuk bekerja keras, berdoa, dan berharap akan kebaikan Tuhan dalam hidupku.
Hidup hanya sekali. Kalau tidak sungguh-sungguh kuperjuangkan, apalah artinya?

Bersambung…

Singapore, 19 November 2008
-fon-
* While my baby’s sleeping…

My Dreams Part 4

Si Eneng

Neng, eneng, Ning. Itulah panggilan orang-orang untuk aku. Terkadang, aku yang terbiasa dengan panggilan itu sampai lupa kalau nama asliku sebetulnya adalah Delina. Gabungan nama kedua orang tuaku, Dewo dan Lina. Dewo, papahku, adalah keturunan Cina namun sangat mencintai Jawa. Baginya tanah tumpah darahnya adalah Indonesia. Dia bahkan akan membela apabila ada saudara dari pihaknya yang menjelek-jelekkan Jawa apalagi Indonesia. Dia sangat nasionalis! Dan dia memang keras dan tegar. Karena itulah, dia sangat mempertahankan keyakinannya akan sesuatu. Terkadang baik, namun bagiku, itu sangat menjengkelkan, karena dia selalu merasa benar, tidak pernah salah, self-centered, dan tidak bisa mengerti perasaan orang lain. Apalagi apa yang diidamkan oleh anaknya, dia tidak pernah tahu. Lebih tepatnya, tidak mau tahu.
Mamah, pribadi yang lembut dan mengasihi. Berbalik 180 derajad dari papah. Mamah terkesan lemah di hadapan papah, kesannya sangat menerima papah apa adanya. Namun, aku tahu, di balik itu semua, mamah menyimpan luka yang lebar yang harus ditanggung seumur hidupnya. Karena oleh keluarga papah yang totok itu, dia dianggap gagal memberikan keturunan laki-laki di keluarga kami.
Mamahku, Lina, beda 10 tahun dari papah. Mereka menikah bukan atas dasar cinta. Namun, dijodohkan. Mamah percaya kalau yang diberikan orang tua adalah yang terbaik baginya. Dan tidak ada keinginan dari dirinya untuk menolak ataupun memberontak. Kalau papah, dia menerima mamah karena memang mamah cantik. Sudah cantik, muda lagi. Siapa yang bakal menolak? Mamah menikah sesaat sesudah menamatkan SMAnya, saat dia belum genap berumur 20 tahun. Sedangkan papah, sudah hampir tiga puluh tahun.
Mamah, dari keluarga menengah ke bawah, tinggal berjauhan dari papah, namun ada hubungan keluarga. Yang entah kalau dirunut dari mana, ada hubungan karena perkawinan. Mamah juga keturunan Cina yang kakek-neneknya berasal dari Mainland, Cina daratan.

Aku? Delina. Anak tunggal dari Dewo dan Lina. Dan ketidakmampuan kedua orang tuaku untuk memberikanku adik, terutama adik laki-laki, membuat mereka menjadi bulan-bulanan di pertemuan keluarga besar kami.
Terkadang kupikir, apa sih hebatnya terlahir sebagai laki-laki? Apa sih yang membuat laki-laki begitu berkuasa tanpa memedulikan perasaan si anak perempuan? Bukankah si anak perempuan itu adalah keturunannya juga? Memang di beberapa suku di Indonesia maupun dalam tradisi Cina, marga diteruskan oleh anak laki-laki. Dan anak perempuan akan melebur dalam marga suaminya nanti, karena keturunannya akan menyandang marga suaminya. Namun di masa kemerdekaan, di zaman modern seperti ini, apakah masih ada yang mempermasalahkan gender seperti itu? Mungkin kamu tidak percaya, tetapi itulah yang kulihat dan kualami. Pembedaan dalam banyak hal karena aku adalah perempuan. Mungkin kalau aku anak laki-laki, papahku bakal berusaha mati-matian menyekolahkan aku. Walaupun dengan pinjam kiri kanan, termasuk pinjam ke keluarga besarnya. Dan pinjaman itu tidak dikabulkan hanya dengan alasan, buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi? Yang penting cantik, bisa dandan, bisa masak untuk menyenangkan suami, dan bisa mendapatkan suami kaya berpendidikan tinggi untuk menunjang keluarga di kemudian hari.
Sinting! Sinting? Iya, memang keluarga papaku agak sinting. Dan itu yang terjadi selama ini. Aku kecewa dan sakit hati. Terutama dengan papahku. Dia amat terpengaruh dengan hal itu, sehingga dia membedakan perlakuannya dengan kentara terhadap aku. Tidak demikian dengan mamah. Dia menerimaku. Dia menyayangiku. Dengan segala keterbatasannya, karena dia harus menghadapi kekejian keluarga papahku plus pengaruhnya dalam diri papah yang tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik setiap disinggung soal ini, dia mengasihiku tanpa pamrih.
She’s the reason why I try to be strong and live my dreams! Karena suatu saat, aku ingin membuktikan kepada papah dan keluarga papah, kalau aku, si anak perempuan tak diharapkan ini, bisa membuat mereka bangga, atau setidaknya membuat mereka mengangkat topi.

Aku tau, sepertinya aku mau bermimpi karena dendam. Dan dalam hatiku, aku selalu ditegur suara yang lembut, yang berkata, tidak baik kalau aku mendendam dan harus memaafkan. Dan kalaupun ada keinginan yang timbul dari dendam itu, hendaknya dimurnikan. Tetapi, aku tidak mau, aku tidak peduli. Biar saja. Mereka harus tau, bahwa mereka tidak bisa menganggap remeh aku.

Namun apa daya, karena memang keadaan memaksaku menjaga warung papah, di saat dia sakit-sakitan seperti sekarang ini, tidak membawaku ke mana-mana. Aku tetap di warung ini. Si Eneng is going nowhere. Hiburanku satu-satunya adalah ke Persekutuan Doa di paroki kami. Hiburan? Iya, hiburan. Di luar memang aku perlu besosialisasi karena aku stress dengan keadaan rumah. PD menjadi pelarian positif bagiku. Karena di situlah aku bertemu dengan Tuhan, bertemu dengan banyak orang yang kurang beruntung dariku. Namun tidak kurang melihat begitu banyak orang yang diberkati Tuhan dengan harta tetapi masih sangat mempedulikan sesama. Mereka tidak dibutakan harta duniawi. Namun mempersembahkannya demi kerajaan Allah.
That’s what I love!
SUATU SAAT NANTI, kalau aku jadi KAYA, aku mau lho mempersembahkannya bagi orang-orang yang kurang beruntung. Agar mereka juga merasakan sepercik kasih Allah dalam kemaraunya kehidupan mereka.

“ Mie Instan rasa ayam bawang 3 bungkus, neng!”
Ah, lagi-lagi suara pelanggan warung menghentikan lamunanku. Kalau hari tengah sepi begini, memang aku cenderung melamun, bermimpi dan berpikir keras untuk menjadikan impianku jadi nyata.
Ada banyak hal yang tidak bisa diubah. Aku tidak bisa mengubah diriku jadi laki-laki. Karena aku perempuan tulen. Aku tidak bisa mengubah papah dan mamahku, karena kata Oom di PD, mereka juga sudah ditentukan sebagai orang tuaku, oleh Tuhan.
Aku tidak bisa mengubah kemiskinan keluarga kami di masa lalu dan masih berlanjut di hari ini, tidak bisa mengubah kekerasan keluarga papah, namun aku tau pasti, kalau aku berusaha menggali apa yang bisa kulakukan dengan baik, nanti suatu saat, aku bisa membawa perubahan. Aku mau berubah, itu yang penting. Dan perubahan itu moga-moga perubahan yang lebih baik.

Kuambilkan mie instant dan kumasukkan ke dalam kantong plastik. Kuberikan kepada si Mbak, pembantu rumah tangga yang sudah bekerja lima tahun di keluarga seberang.

Hidup terkadang tidak adil. Aku korbannya. Aku tidak bisa memilih banyak hal. Namun, saat ini, aku mau menerima ketidakadilan itu sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Tidak ada yang bisa memastikan hidup selalu adil. Adil bagi seseorang mungkin berarti ketidakadilan bagi orang yang lain. Ketidakadilan itu membawaku memegang erat kembali My Dreams. Untuk masa depan yang lebih baik, untuk hari esok yang lebih cerah, si Eneng mau berusaha…

Bersambung…

Singapore, 26 November 2008
-fon-
* siang menjelang sore…

My Dreams Part 5

Tragis

Pagi ini aku terbangun dengan kesegaran baru. Karena mimpi indahku semalam membawaku bertemu dengan pangeran pujaan hatiku. Dia tidak terlalu tampan, namun gagah, dan cukup tinggi. Dan yang pasti, dia sangat baik padaku dan selalu mau mendengar keluh-kesahku. Dia mengerti perasaanku, kesendirianku, kesepianku, dan luka hatiku. Ah, sepertinya setiap tarikan nafasku pun, dia mengetahuinya. Menemukan dirinya dalam hidupku, membuat aku bersuka cita. Aku amat bahagia, sekaligus amat berterima kasih kepada Tuhan.

Pelan-pelan, aku mulai mandi. Si Eneng akan menikmati hari ini. Di luar segala kepedihan yang terjadi, di luar segala kesinisan pandangan papah akan aku dan impianku, ah…aku tak peduli. Aku mau nikmati hari ini! Jarang-jarang aku bisa begini, karena rata-rata aku selalu termangu dalam impianku dan terkadang larut dalam rasa ketidakadilan yang menimpaku. Tapi, aku mau berubah.
Hari ini, aku ke pasar. Jadwalku hari ini sendirian, karena mamah harus menyelesaikan pesanan kue dari tetangga di gang sebelah kami. Mamah terkadang memang membantu ekonomi keluarga dengan berjualan kue kering, terutama di saat-saat mendekati Natal, Lebaran, ataupun Imlek. Lumayan buat nambah-nambah penghasilan. Karena mamah kekurangan bahan seperti telur dan gula pasir, aku yang membantu membelikannya sekaligus belanja untuk keluarga kami.

Aku ke pasar dengan ceria. Mungkin si abang tukang tahu bingung melihatku pagi ini. Aku tersenyum, mengajaknya bicara, bertanya sedikit tentang anak istrinya, baru beranjak pergi.
Begitu pun abang tukang telur dan pemilik warung yang menjual gula pasir. Biarlah sedikit kebahagiaan yang kurasakan, ingin kubagikan kepada mereka.

Pelan-pelan kuselesaikan belanjaan, satu demi satu. Wuih, berat juga ternyata! Pulang aku naik ojek dari depan gang setelah turun dari bus kota, karena terlalu berat bagiku untuk berjalan kaki dengan setumpuk belanjaan hari ini.
Kudapati kerumunan orang di depan rumahku. Kenapa begini? Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Karena tidak pernah terjadi seperti ini.
Kulihat, papah menangis. Hal yang sangat jarang terjadi. Dia sungguh tegar hati dan sombong, mana mungkin meneteskan air mata???
Perasaanku tambah tak enak… Aku berlari ke arah kerumunan itu, kulihat wajah mamah biru dalam pelukan papah.
“ Mah, ada apa?? Jangan tinggalkan Eneng, mah…!!!” Aku berteriak sambil menangis.
Mbak Sis, tetangga kami dan akrab denganku dari aku kecil memelukku dan mengatakan,
“ Sabar yah, neng. Mamahmu sudah tiada. Tadi dia terpeleset di kamar mandi dan dia terjatuh dengan bagian kepala belakang menghantam lantai kamar mandi. Kami sudah berusaha menolong dan berusaha juga mencarikan dokter. Namun, mamahmu tak bertahan lama. Dia sudah pergi ketika dokter datang. “

Ya Tuhan, sebegitu cepatnya kah Engkau merenggut seseorang yang berharga dalam hidupku? Begitu teganya kah Engkau meninggalkan aku seorang diri tanpa orang yang kucintai? Apalah artinya hidupku, impianku, My Dreams?? Semua sia-sia. Kalau tidak ada mamah, semua tak berguna. Karena mayoritas impianku kutujukan untuk membahagiakan mamah, sebagai orang yang selalu mendukung aku selama ini. Kalau dia tiada, apa masih tersisa semangat hidupku? Rasanya tidak. Tuhan, mengapa ini semua terjadi???

Aku berusaha menegarkan hatiku. Aku berusaha berpikir lurus, selurus yang aku bisa di tengah kondisi yang sangat memilukan itu. Kami harus mempersiapkan pemakaman mamah. Dan aku harus banyak bicara dengan papah mengenai ini dan itu.
Papah tidak terlalu banyak bicara. Dia juga shock. Aku tahu, sebetulnya dia sangat mencintai mamah. Namun, karena tekanan hidup yang dia sendiri tidak bisa atasi, akhirnya dia melampiaskannya kepada mamah. Not wise, but he can’t handle it well.

Mamah langsung dimakamkan hari itu juga. Karena kami tidak mampu menyewa rumah duka terlalu lama. Lagian, tidak banyak saudara yang kami tunggu. Karena aku anak tunggal dan saudara dari pihak papah tidak banyak juga yang datang. Sementara mamah, oh… dia juga sebatang kara. Dia sendiri tidak tahu siapa orang tuanya karena dia dibesarkan oleh neneknya.
Sedihnya suasana hatiku tak bakal bisa digambarkan dengan kata-kata.
Sedih. Marah. Kecewa. Terluka. Yah, kembali aku menyadari bahwa luka yang amat lebar terbuka dan mulai berdarah. Aku menangis dan menangis.
Tuhan, beri aku kekuatan. Aku sudah hampir ingin meninggalkan ini semua bersama mamah. Hidupku sudah tidak ada artinya lagi.
Tetapi aku sadar, kalau aku masih diberi kehidupan, itu berarti aku harus bertahan. Walaupun sesulit apa pun, harus tetap berusaha tegar dan berjalan.
Sebetulnya Kau mau apa dalam hidupku, Tuhan? Mengapa kau lakukan ini? Why did you do this to me???

Malam hari di rumah…
Kubuka kembali My Dreams. Ada banyak impian yang ingin kucapai demi mamah. Ada banyak perjalanan ke luar negeri yang ingin kulakukan juga bersama mamah. Tapi, waktu mamah sudah habis di dunia ini. Mamah sudah pergi meninggalkan aku dengan mimpi-mimpiku.
Tuhan, kalau memang Kau peduli padaku, kenapa Kau ambil mamah dari sisiku?
Ini hal yang paling tragis bagiku. Kehilangan seseorang yang kukasihi, tanpa ada firasat apa pun. Perasaanku yang tenang di pagi hari membuatku bersuka cita berganti dengan lautan kesedihan tanpa batas karena kehilangan mamah.
Aku kehilangan pegangan. Seseorang yang terpenting dalam hidupku sudah diambil.
Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku hanya bisa menangis. Menangisi ketidakpastian hidup yang terus mengombang-ambing aku.
Hari ini aku tidak bisa bermimpi untuk My Dreams. Mimpiku hanyalah agar mama tidak Tuhan ambil begitu mendadak dari sisiku. Aku belum siap.
Tuhan, tahukah Kau bahwa aku belum siap kehilangan mamah?
Aku kembali menangis dan air mata memenuhi wajahku. Aku diam.
Dalam diamku, suara hatiku berbisik… “ Ini yang terbaik bagi mamahmu. Tuhan tahu. Dan Dia akan sediakan sesuatu yang terbaik juga bagi dirimu.”
Aku tersenyum getir… Kalau dulu, pasti aku sudah meloncat dalam suka cita lautan kegembiraan. Namun sekarang? Entahlah…Aku tidak bisa apa-apa. Kututup wajahku dengan bantal. Aku menangis lagi. Mamah, I miss you. Kapan kita bertemu lagi???

Singapore, 4 December 2008
-fon-
* rainy day again…

My Dreams Part 6

Previously on My Dreams:
Si Eneng merasa terpukul dengan kepergian Mamah. Ketika dia berbelanja ke pasar, mamah terjatuh di kamar mandi. Banyak penyesalan karena dia belum berhasil membahagiakan mamah. Sekarang, tinggal dia dan papah di rumah. Relasi dengan papah tidak baik karena papah sinis dan selalu menganggap diri benar. Namun, dengan kejadian mamah meninggal, akankah ada perubahan? Simak kelanjutan ceritanya…


Perdamaian

Mamah memelukku. Aku menangis dalam pelukannya. Tetapi wajah mamah tidak kesakitan, sebaliknya wajahnya amat tenang. Dengan senyum di bibirnya, dia berkata, “ Mamah bahagia di sini. Kamu jangan sedih lagi. Berbaikan dengan papahmu, ya Neng! Kasihan dia sendirian…”
Aku mengangguk. Entah ada kekuatan dari mana yang menyebabkan aku menganggukkan kepalaku saat itu. Mungkin karena pada dasarnya aku tidak pernah mau mengecewakan mamah.
Dan aku terbangun. Tertegun. Kali ini, mimpi itu sungguh sepertinya nyata.
Aku tidak hendak membantah permintaan mamah. Karena terakhir aku juga melihat, betapa papah stress berat dalam kesendiriannya. Tidak ada lagi orang yang bisa dia marahi dan membalas dengan senyuman. Tidak ada lagi mamah yang menyediakan segala masakan yang sederhana, namun sedap dan selalu menggugah selera. Tidak ada lagi orang yang membuatkannya kopi di saat dia bangun pagi. Kebiasaan tinggal bersama selama beberapa puluh tahun sebagai suami istri, membuat seseorang amat sulit menerima rasa kehilangan itu. Dan aku melihat sendiri, papah tidak bisa tenang dan tegar seperti dulu. Dia jadi banyak melamun. Padahal dulu, dia yang melarangku melamun, sekarang dia yang membiarkan dirinya hanyut dalam pikirannya sendiri.

Aku tidak mampu menyelami apa yang ada di pikiran papah. Mungkin papah menyesali sikapnya selama ini. Mungkin papah merasakan kesakitan luar biasa harus ditinggal mamah dalam waktu sebegitu singkat di depan matanya sendiri tanpa bisa melakukan apa-apa. Mungkin, dan hanya mungkin yang ada di kepalaku, karena aku sendiri tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dalam hati papah.
Dia juga berubah lebih baik terhadap aku dan tidak segarang dulu. Namun, kami masih belum mampu mencairkan kekakuan hubungan ayah-anak yang selama ini membelenggu. Kami masih saling terpaku dalam pikiran masing-masing. Masih terlalu awal memang. Mamah baru pergi 10 hari yang lalu. Dan waktu berjalan pelan. Rasa kehilangan sangat mendominasi. Apalagi melihat kamarnya saat aku menyapu tadi. Aku pelan-pelan membuka lemari pakaiannya dan melihat betapa rapi dia menata isi lemari itu. Satu hal yang patut dipuji, mamah memang rajin!

Aku merasa, apa yang mamah katakan merupakan pesan yang harus dilaksanakan. Aku tak pernah berniat membangkang kalau terhadap mamah yang baik dan lembut hati itu. Aku selalu ingin menyenangkan dia. Karena aku tahu, dia berkorban untuk aku juga. Dan aku ingin sekali membalas segala kebaikannya.
Mungkin inilah jalan yang terbaik bagi kami. Kami, aku dan papah, harus berbaikan di saat mamah tiada. Kepergian mamah jugalah yang akhirnya mempersatukan kami…
Ahhhh, itu teori! Aku tidak mau! Aku tidak mau berbaikan sama papah.. Untuk apa? Untuk dihina lagi? Untuk diintimidasi lagi? Untuk diatur lagi???
Peperangan terbesar sebetulnya bukan peperangan dengan orang lain. Namun, peperangan terbesar yang kuhadapi selalu dengan diriku sendiri. Aku butuh kedamaian. Dan kalau dalam diriku sendiri belum ada, bagaimana aku bisa berdamai dengan papah?

Malam itu aku kembali berdoa, setelah sekian malam aku tak mampu berdoa, hanya menahan isakan air mata. Aku bilang pada Tuhan bahwa aku mau berdamai dengan papah. “ Ya, Tuhan… Aku mau!”
Kalau itu yang mamah mau, kalau itu yang Tuhan mau. Tapi sebelumnya, aku mohon kepada Tuhan agar aku bisa berdamai dengan diriku sendiri. Karena selama ini, di tengah semua sakit hatiku, aku telah melukai diriku sendiri. Dengan mendendam, dengan ingin membuktikan bahwa diriku baik di mata orang, dengan ingin dipuji…oh betapa aku haus akan pujian. Karena aku tidak mendapatkan kasih yang seharusnya. Jadi, sedikit pujian saja, sudah amat berarti bagiku.
Mamah, besok aku mencoba untuk berbaikan dengah papah.. Tuhan, bantu aku menata kembali serpihan hatiku dan merangkainya dengan rapi. Agar aku kuat, agar aku bisa berdamai dengan diriku. Baru kemudian berdamai dengan papah.

Malam itu aku melihat seluruh hidupku seperti film yang diputar dalam benakku. Aku melihat kesedihanku, lukaku…Dan setelah itu, Tuhan membawaku menuju ke papahku. Beban yang dia rasakan, stress karena tidak bisa memberikan keluarganya anak laki-laki. Ego, gengsi, dan terakhir dia sebetulnya sedih.. Dan aku bisa merasakan kesedihan dan kekecewaannya. It’s not your fault, pah…!
Tetapi sepertinya, papah juga harus berdamai dengan dirinya sendiri. Karena dia belum bisa mengampuni dirinya yang dirasa tak berguna karena hanya bisa memiliki satu anak perempuan saja.

Pagi yang cerah…
Aku bangun. Berusaha tersenyum ramah pada dunia. Di tengah kesedihanku karena ditinggal mamah, aku mencoba ceria. Kulihat bengkak di mataku. Ah, bagaimana aku bisa tersenyum ramah kalau bengkak dan merah begini kedua mataku?
Tetapi aku mencoba.
Aku membuatkan kopi dan roti lapis selai srikaya kesukaan papah. Kubawa ke kamarnya. Kulihat dia masih tidur. Keningnya berkerut. Dia tidur pun berpikir. Tidurnya tidak nyenyak.
Aku tahu, sebetulnya dia orang yang tidak mudah tidur selama ini. Ditambah kejadian mamah, dia semakin insomnia.
Papah sudah semakin tua. Kulihat rambutnya mulai memutih. Putih keperakan bercampur abu-abu dan hitam. Kombinasi alami yang bagus.
Dan saat aku mau beranjak pergi. Papah membuka matanya.
Kulihat dia terkejut melihatku. Tidak menyangka.
Aku mulai mengumpulkan keberanian yang ada untuk memulai percakapan. Sulit, namun aku mau berusaha.
“ Pah, maafkan aku. Kalau aku selama ini keras sama papah. Aku banyak kesal sama papah. Aku sedih lihat bagaimana papah memperlakukan mamah dan aku. Tapi akhirnya, aku sadar bahwa papah sendiri juga stress berat. Tapi pah, itu bukan salah papah. Tuhan sudah memberikan aku kepada papah. Aku mau menjaga papah, sebagaimana mamah melayani papah dengan baik semasa hidupnya. Mamah menjadi contohku. Dan mamah menginginkan perdamaian kita…”

Kulihat kembali kedua belah mata papah dialiri air mata. Hal yang mulai sering kulihat semenjak mamah tiada. Dia jadi sering menangis.
“Papah juga minta maaf, Neng… Papah juga banyak salah sama mamahmu dan kamu. Dan papah juga takut, kalau nanti ketika waktu papah tiba, papah masih belum berdamai dengan kamu-anak papah satu-satunya, papah tidak akan tenang…”

Hari itu, untuk pertama kalinya setelah sekian puluh tahun hidupku, kami berpelukan. Menangis bersama. Mengenang kebaikan mamah.
Selalu ada hikmah yang tersembunyi di tiap kejadian. Dan hari ini, setelah sepuluh hari mamah meninggal, misteri itu mulai terkuak.
Tuhan menginginkan perdamaian dari dua musuh besar, aku dan papah. Tuhan mengizinkan mamah meninggalkan kami hanya demi kebaikan kami. Berdamai dengan diri kami sendiri. Dan bagiku, berdamai dengan papah.

Aku keluar membawa baki berisi gelas kosong. Kopi yang kubuat untuk papah sudah diminum habis. Begitupun dengan roti, sudah habis dimakan.
Dan aku melangkah ringannnn sekali… Ada beban yang terangkat. Dan aku lega. Aku rasa papah juga demikian.Kulihat senyum di wajahnya.
Mamah, kami sudah berdamai. Thank God!

Singapore, 11 Desember 2008
-fon-
* ngantuk berat … saat hampir jam dua pagi…

My Dreams Part 7

Previously on My Dreams Part 6:
Sepeninggal Mamah, Eneng dan Papah berdamai. Satu hal yang indah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya di tengah segala kebencian yang terbangun hari demi hari dalam diri Eneng terhadap papahnya.
Dan hal yang baik terjadi, di saat sepertinya Eneng berada dalam kubangan duka karena Mamah pergi mendadak. Yah, perdamaian itu indah dan melegakan. Then, what will happen next? Simak episode berikut ini…

What On Earth Am I Living For?

Pertanyaan itu berusaha kujawab dengan berpikir keras. Sampai mengernyitkan keningku. Untuk apa sih tujuannya manusia hidup di dunia ini? Untuk menyenangkan orang tua? Jelas bukan hanya itu… Untuk menyenangkan Mamah, hal itu sudah tidak mungkin, karena Mamah sudah tiada di dunia ini. Tidak mungkin berjalan-jalan ke luar negeri dengannya.
Mungkin untuk berdamai dengan Papah? Mmmm, mungkin juga… Tetapi, apa cuma sampai di situ saja tujuan hidupku?
Untuk melakukan apa yang aku mau? Sampai hari ini sejujurnya, aku tidak tahu apa yang mau betul-betul difokuskan. Selama ini aku tidak pernah berpikir sebetulnya, “ Aku mau apa di dunia ini? Ngapain aku hidup di sini? Cuma numpang lewat saja?”

Setelah berdamai dengan Papah, aku memang merasakan satu beban terangkat. Namun, setelah itu, what’s next? Aku tahu aku harus melangkah dan berjalan. Tetapi, bagaimana yaaa?? God help me.

Bergegas aku mengambil bolpen dan buku kosong tempat aku terkadang mencorat-coret dengan rangkaian kata berisi tumpahan perasaanku. Berpikir keras sekali lagi. Apa yang selama ini kusukai? Apa yang benar-benar kuinginkan dalam hidup ini?
Jaga warung seumur hidup? Oh No! Jelas tidak! Awalnya, aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai anak yang berusaha berbakti terhadap Mamah. Membantunya. Kasihan dia sering kelelahan.
Sebetulnya, aku selalu suka menyanyi. Dia diam-diam sering menyanyi di kamar tidur dan tempat kesukaanku sebetulnya adalah kamar mandi. Di kamar mandi, aku bisa agak aman menjerit dan melantunkan tembang kesukaanku diiringi kucuran air kran sebagai musiknya dan ayunan gayung di tanganku menambah semarak suasana.
Now, I know! Aku ingin jadi penyanyi.
Ok, kalau begitu penyanyi jenis apa? Rock, metal, R&B, pop, opera, dangdut, rohani, atau apa?
Aku berusaha lebih spesifik. Aku mau menjadi penyanyi rohani! Karena suara ini datangnya dari Tuhan, kalau tidak kupersembahkan untuk kemuliaan Tuhan, rasanya akan ada sesuatu yang kurang.
Tiba-tiba, aku begitu bersemangat! Setelah tahu apa yang kuinginkan, yah…aku ingin menjadi penyanyi rohani yang memuliakan Tuhan dengan suaraku.
Masalahnya, apa suara si Eneng ini cukup bagus? Cukup layak untuk menjadi penyanyi rohani yang handal?
Karena seperti yang sering terlihat di layar kaca, begitu banyak orang dalam audisi Indonesian Idol ataupun AFI, ataupun acara-acara senada, memiliki kepercayaan diri yang amat besar akan kemampuan menyanyinya namun tidak sesuai dengan kenyataannya.
Setelah dibuktikan dengan audisi di depan para juri, hasilnya celaan dan cercaan, bahkan menjadi bahan tertawaan.
Ah, tidaklah… Aku tidak mau seperti itu. Memalukan… !
Kalau memang aku tidak sesuai menjadi penyanyi, jangan izinkan aku, ya Tuhan. Namun, apabila memang itu kehendakMu, aku mau sungguh-sungguh jadi penyanyi yang baik, kalau bisa terkenal tetapi tetap rendah hati. Sempurna! Apa bisa ya? 
Aku tersenyum simpul. Bahagia. Sesederhana itu saja. Menggali apa yang ada dalam diriku dan betul-betul memakainya demi kemuliaan Tuhan.
Mungkin cara yang paling mudah adalah dengan koor gereja dan singer di PD. Itu langkah pertama yang akan kujalankan. Sisanya, terserah Tuhan.
Satu sisi, aku juga menyadari bahwa suaraku tidaklah sumbang. Aku mengerti nada dan bisa menyanyi. Dan suaraku memiliki jangkauan yang luas. Tidak seluas Mariah Carey, namun… suaraku sopran.
Dan itu yang menjadi impianku sekarang ini. Mulai besok, aku mau bertanya kepada si Desi yang sering mengajakku ikut koor gereja, mereka latihan hari apa saja, dan aku mau bergabung.
Sepertinya jadwal latihan mereka malam hari, jadi tidak mengapa karena aku tidak pernah jaga warung sampai terlalu malam. Dan semenjak Mamah tiada, papah juga tidak memaksakan diri membuka warung sampai terlalu larut. Dia juga perlu istirahat.
Satu lagi, nanti ketika Persekutuan Doa, aku mau bertanya juga kepada singer yang bertugas, kalau mau latihan bagaimana caranya. Aku belum terlalu hafal lagu-lagu yang dinyanyikan di PD karena datangnya juga sesekali dan terkadang tidak sampai selesai, aku harus buru-buru pulang, kasihan Mamah kalau menungguku sampai larut malam.
Sambil nanti aku lihat, arahnya terbuka ke mana. Singer di PD, koor di gereja, atau mungkin band rohani? Aku belum tahu. Yang pasti, aku sudah tahu mau jadi apa. Dan untuk memuliakan Tuhan, aku mau lihat semua jalur yang memungkinkan untukku menjadi penyanyi rohani terkenal.
Tersenyum diriku membayangkan betapa sukacitanya hari-hari menyanyi dan menyanyi demi kemuliaan Tuhan.
Indah! Jika berada pada jalur yang benar yang sesuai dengan apa yang kuinginkan plus apa yang Tuhan rencanakan, perpaduan yang sempurna itu menjadikanku amat bangga mengenal diriNya. Semoga aku tidak mengecewakan Tuhan dan tidak mengecewakan diriku sendiri.

Bergegas aku mandi dan tidak lupa, menyanyi!!!
Tiada yang mustahil dan tiada yang sukar…
Bila Roh Allah turut bekerja…
Tiada yang mustahil bagi orang percaya
Karna Roh Allah turut bekerja di antara kita.

Setelah rapi, kujumpai Papah di ruang tamu, dia tengah bersiap-siap membuka warung. Dan aku? Ke pasar, berbelanja dan nanti memasak untuk aku dan Papah. Dengan sukacita. Karena aku tahu, aku hidup dengan tujuan. Tujuan yang ingin memuliakan Tuhan dan juga orang tuaku. Mah, aku tahu Mamah ada di kejauhan tetapi dekat di hati… Doakan Eneng, ya mah!

Bersambung…

Singapore, 17 December 2008
-fon-
*With God… Nothing is impossible. Impossible is nothing.


My Dreams Part 8

Previously on My Dreams part 7:
Akhirnya si Eneng menemukan apa yang betul-betul diinginkannya. Dia ingin menjadi seorang penyanyi. Dan lebih spesifik lagi, dia ingin menjadi penyanyi rohani. Agar dia bisa mempersembahkan apa yang dia miliki bagi kemuliaan nama Tuhan.
Dan, apa yang bakal terjadi selanjutnya? Silakan simak di episode My Dreams berikut ini…

AUDISI

Hari yang kelabu. Penuh mendung. Dan hujan rintik-rintik mulai membasahi jendela kamarku sedari pagi. Aku termenung sebentar, melihat ke arah langit. Sepertinya bakal hujan seharian. Biasanya hujan gerimis begini bisa jadi hujan yang panjang. Tetapi malam itu, aku akan ke gereja. Aku akan misa harian. Jadi, biar pun hujan terus menerus, aku tetap akan pergi sesudah tutup warung. Aku membuat komitmen bagi diriku sendiri untuk misa harian seminggu sekali dan ke Persekutuan Doa juga seminggu sekali.
Dan hari ini giliran misa harian.

Hari berjalan lambat. Dan terbukti, ramalan cuaca versi Eneng memang benar. Hujan dari jam 6 pagi masih berlanjut sampai jam 5 sore. Dan di saat itulah aku bersiap-siap menutup warung, minta izin Papah untuk ke gereja, dan bergegas ikut misa jam 6 sore.
Aku sampai 15 menit lebih awal. Aku berdoa di depan Bunda Maria. Salam hai Bunda! Apa kabar sore ini? Titip salam untuk Mamah, ya…
Aku tersenyum dan menyalakan lilin di depan Bunda. Dan kuikuti misa dengan khusyuk dan sepenuh hati.

Setelah selesai, aku menghampiri papan pengumuman gereja. Di sana, kudapati satu lembar pengumuman yang baru saja ditempel kemarin. AUDISI. Kukerjapkan mataku sekali lagi. Iya, audisi! Aku tidak salah baca!
Dan kali ini mereka menuliskan, Band Mata Hati mencari vokalis bagi band rohani mereka. Ketentuannya, bisa menyanyi dan suka menyanyi, dan bersedia menyanyi bagi kemuliaan Tuhan.
Band Mata Hati sendiri tertulis di sana adalah band yang baru terbentuk. Mereka sudah mendapatkan semua anggota lainnya, kecuali vokalis, dan mereka mencari bibit penyanyi di paroki-paroki.
Audisi akan dilakukan hari Minggu, 2 minggu mendatang. Aha! Aku akan berlatih dan yang pasti, aku akan mendaftarkan diri.

2 Minggu Kemudian…
Tidak ada persiapan yang terlalu berlebihan yang kulakukan. Aku hanya menghafalkan beberapa lagu yang kusukai. Dan yang menjadi juri dari Audisi kali ini adalah seluruh anggota band Mata Hati yang terdiri dari 4 orang. Ada 3 pria dan 1 wanita di band itu, dan mereka mencari vokalis yang sesuai.
Kulihat daftar peserta cukup banyak yang tercantum di gereja sore itu. Dan audisi dilakukan di aula. Aku sendiri mendapatkan nomor peserta 24 dari seluruh peserta audisi yang mencakup 250 orang. Dan karena banyak, tiap orang hanya diizinkan bernyanyi maksimal 3 menit saja di depan para juri.
Keputusan adalah final, tidak dapat diganggu gugat, dan akan diberitahukan minggu depan di gereja, sekaligus penampilan perdana band Mata Hati di panggung yang akan ditata di depan gereja bertepatan dengan acara tahun baru.

Satu per satu orang tampil. Ketika sudah mendekati nomorku, aku semakin gugup. Agak demam panggung. Maklum, aku tidak punya pengalaman manggung sebelumnya. Namun, aku berdoa kepada Tuhan, semoga ada jalan.
Dan ketika itu, aku juga blank, tidak tahu lagu apa yang harus kunyanyikan di waktu sesempit itu. 3 menit.
Dan ketika aku dipanggil, hatiku berbisik, nyanyikan saja satu lagu yang baru kudengar di PD minggu lalu dan mudah diingat. Berbahasa Inggris. Dan karena aku menyukainya, aku terus menyanyikannya di kamar mandi, di rumah, bahkan diam-diam di warung…
Tanpa sadar, itu sudah menjadi semacam latihan bagiku.


I love you, Lord
And I lift my voice
To worship You
Oh, my soul rejoice!
Take joy my King
In what You hear
Let it be a sweet, sweet sound in Your ear

Lagu berjudul I Love You, Lord itu betul-betul menggema dalam hatiku, ketika namaku dipanggil. Dan di saat aku harus menyanyikannya di depan para juri, aku menyanyikannya dengan sepenuh hatiku, memang itu wujud kecintaanku padaNya. Bahwa Dia adalah pusat cintaku dan akan kuangkat suaraku bagi Dia. Dan smoga suaraku ini menjadi sesuatu yang manis Kau dengar ya, Tuhan! Itu sungguh-sungguh pintaku.

Kulihat senyuman di wajah para anggota Band Mata Hati yang menjadi juri. Entah karena keseriusanku dalam membawakan lagu itu atau karena hal lainnya. Namun, melihat senyuman mereka, hatiku lega. Setidaknya, semoga…harap dalam hatiku, ini tidak jelek…:)

Kulangkahkan kakiku ringan. Aku mau pulang, menjaga warung kembali. Dan minggu depan, aku akan datang…menunggu hasil audisi. Apa pun hasilnya, aku akan mempersiapkan hatiku, karena rasanya aku sudah memberikan yang terbaik.

Bersambung…

Singapore, 30 December 2008
-fon-
* again late @ nite while my baby’s sleeping…

My Dreams Part 9

Previously on My Dreams:
Eneng mengikuti audisi Band Mata Hati yang sedang mencari vokalis. Eneng menyanyikan lagu berbahasa Inggris, karena pada saat terakhir hatinya mengajaknya menyanyikan lagu I Love You Lord. Dan Eneng menunggu hasilnya. Dia merasa sudah memberikan yang terbaik dan menunggu pengumuman dari anggota Band merangkap dewan juri.
So, bagaimana hasilnya? Simak episode berikut ini…

When You Believe

Many nights we've prayed
With no proof anyone could hear
In our hearts a hope for a song
We barely understood

Now we are not afraid
Although we know there's much to fear
We were moving mountains long
Before we knew we could

There can be miracles, when you believe
Though hope is frail, it's hard to kill
Who knows what miracles you can achieve
When you believe, somehow you will
You will when you believe
(Mariah Carey and Whitney Houston in When You Believe)


Duet yang sempurna dari kedua penyanyi kaliber dunia itu bergema lembut di telingaku. Ketika malam itu menjelang tidur, kunyalakan saluran radio kesukaanku yang memutar musik-musik dari tahun 1980an dan 1990an. Di luar kebiasaan anak-anak zaman sekarang, memang seleraku agak sedikit lebih tua dibandingkan umurku. Karena aku percaya juga bahwa lagu-lagu lama memiliki keabadian yang indah. Dan kata-katanya yang memotivasi yang membuatku berani bermimpi untuk menjadi vokalis Band Mata Hati dan percaya bila memang akan ada keajaiban ketika kita mulai percaya. Miracle is waiting! And all I want to do is just believe!

Motivasi ini kuperlukan karena besok adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh peserta audisi. Dan tidak kira-kira karena Band Mata Hati juga akan langsung melakukan rekaman yang disponsori oleh seorang yang tak mau memberikan namanya namun sangat menjunjung tinggi musik sekaligus Tuhan sendiri. Dan dia memberikan sumbangan secara sembunyi-sembunyi melalui pihak gereja. Pihak Band Mata Hati sendiri tidak mengetahuinya. Namun, sejujurnya ini tidaklah sepenting kebaikan hatinya. Smoga Tuhan membalas kebaikan dan ketulusan yang ada dalam hati sponsor ini.

Sabtu 3 Januari 2009, Panggung Gereja pukul 17.30
Bertepatan dengan tahun baru, di sinilah gereja mengadakan acara. Sekaligus launching juga Band Mata Hati minus vokalis yang baru hari itu akan diumumkan. Aku tidak tahu pasti perasaan apa yang timbul di hati. Tidak jelas. Berbaur antara senang, semangat, excited, sekaligus ada sedikit….ya, sedikit saja kekuatiran. When you’re so close to your dream, sometimes you’ll feel the shaking inside of you. Ada gejolak yang kuat untuk menggapai dan mencapainya, sekaligus ada rasa hati-hati juga bila itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tentunya, tidak bisa dipaksakan. Aku juga berusaha mempersiapkan diriku untuk menerima seandainya aku tidak terpilih. Hoping for the best tetap donk… Namun juga tidak takabur atau terlalu percaya diri. Biarlah kalau memang Tuhan izinkan, Tuhan mampukan. Sekaligus aku yakin bahwa I can do all things through Christ who strengthens me. Amen!

Pengumuman diumumkan oleh ketua panitia, Pak Johan, didampingi seluruh personel band di panggung. Pak Johan memegang kertas bak pengumuman piala Oscar di televisi dan langsung mengambil microphone., “Dan pemenang audisi untuk vokalis Band Mata Hati adalah…”

Kupejamkan mataku, kutenangkan hatiku, dan berdoa. Entahlah. Aku betul-betul menginginkan hal ini, sekaligus juga begitu takut (tiba-tiba saja rasa takut itu menyerangku), apa yang terjadi bila impianku tidak jadi nyata? Well, Eneng, life goes on… Masih akan ada kesempatan lain.
Pikiranku masih berkecamuk. Dan kutenangkan sejenak diriku sambil menarik nafas panjang.
Apa pun keputusanMu, Tuhan, aku terima.

Seluruh personel band dan Pak Johan serentak berseru, “ Seorang wanita…”
“ Baiklah, “ ujarku dalam hati. Masih ada kesempatan…
Dan dia adalah, “ Delina!”

Kuangkat wajahku dan kutatap panggung tempat mereka berdiri. Tak terasa air mata mengaliri wajahku, sambil pelan-pelan aku berjalan ke arah panggung. Hatiku terus meneriakkan terima kasih kepada Tuhan. It’s a miracle! Unbelievable! But at the same time, it’s so sweet… You, Lord, are amazing!

Aku hampir tak mampu menyanyikan lagu I Love You Lord sebaik audisi. Karena mataku tertutup air mata yang terus mengaliri kedua belah pipiku tanpa henti dan suaraku masih bergetar. Terima kasih Tuhan, ini buat mamah. Juga buat papah. Dan tentunya untuk Tuhan juga!

Hari-hari ke depan menanti. Di mana akan ada hari-hari penuh kegiatan rekaman, promosi, dan manggung untuk Band Mata Hati.
Aku juga memikirkan kemungkinan penggantiku di warung papah. Karena kasihan juga papah. Dan kami akan mendapat uang saku setiap bulan, masih dari sponsor juga. Dan dari penjualan album, akan ada persentase yang diberikan kepada kami. Puji Tuhan. Jadi, aku tidak membebani papah lagi.

Apa yang terjadi semuanya seperti mimpi. Tapi mimpi ini adalah mimpi yang paling nyata yang terjadi dalam hidupku. Kucubit tanganku, tidak…aku tidak mimpi, ini nyata! Yang terjadi hanyalah mimpi yang jadi nyata! Begitu indah, begitu bahagia, sekaligus bersyukur. Aku tahu di depan sana, akan ada banyak perubahan-adaptasi-dan mungkin problem yang tidak sedikit. Namun, ketika diriku percaya, when I really believe, bahwa Tuhan sudah sediakan bagiku, itu akan jadi nyata.

The End of this part. Will continue with the next part.

Singapore, 13 January 2009
-fon-
* begadang lagiiii…begadang lagiii…untuk menyelesaikan tulisan ini:)

No comments: